Saya seorang ASN. Meski dalam jabatan struktural saya masih baru, karena saya terjaring lewat K1. Sebelumnya, selama 12 tahun, bekerja di Dompu yakni di bawah GTZ (Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit, Perusahaan kerjasama internasional milik Pemerintah Federal Jerman) sebagai Project Officer (PO) mengawal pelaksanaan undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian diamandemen dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005.
Implementasi dari undang-undang ini berdampak besar bagi perubahan “kewenangan” sistem Pemerintahan Nasional. Dari sistem Pemerintahan sentralisasi menjadi Desentralisasi dan hal ini mempengaruhi segala sektor kehidupan. Termasuk Pegawai Negeri Sipil ( PNS) !
Misalnya, karena kekuasaan dan pengaturan pemerintah daerah sepenuhnya diberikan kepada daerah, maka pegawai-pegawai yang sebelumnya vertikal (NIP Pusat) dialihkan menjadi Pegawai Pemda, baik yang struktural maupun fungsional. Akibatnya adalah, ada banyak pegawai Pemda (pegawai horizontal) yang secara kepangkatan dan golongan lebih rendah dibandingkan dengan PNS vertikal, padahal Misalnya BKKBN, PENERANGAN, dan sebagainya.
Namun perubahan ini tidak terlalu meresahkan karena kenaikan kesejahteraan pegawai di era Presiden Abdurrahman Wahi (Gusdur) sangat signifikan, yaitu mencapai 270% ! Sedangkan pada era Presiden Susilo Bambang Yoedoyono (SBY), kenaikan gaji berkisar antara 18-20%.
Demikian pula. Jenjang kepangkatan dan pelatihan kepemimpinan bagi yang memenuhi syarat, masif dilakukan. Artinya bahwa “Road Map” mau kemana seorang PNS itu jelas.
Pada tahun 2019, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) menerbitkan Peraturan Menteri PANRB Nomor 28 Tahun 2019 tentang Penyetaraan Jabatan Administrasi Ke Dalam Jabatan Fungsional. Regulasi ini menjadi dasar langkah strategis pemerintah untuk menciptakan birokrasi yang lebih dinamis dan profesional dalam memberikan pelayanan publik. Dampaknya adalah, sekitar 70,67% pegawai dengan jabatan pengawas atau setara eselon IV difungsionalkan (Bibit Iman Febrian Arissutomo).
Payahnya, pengalihan ini tidak disertai dengan petunjuk teknis pelaksanaan yang jelas. Pemerintah daerah, dengan jajarannya (jafung) seakan dibiarkan untuk menerjemahkan sendiri apa yang harus dilakukan. Bahkan ada sebagian jafung yang tetap menjalankan tugas-tugas struktural tanpa mengerti adanya perubahan yang seharusnya berlaku. Tunjangan Kinerja yang seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari implementasi undang undang ini menjadi sesuatu yang “debatable” di setiap daerah. Tidak ada ketegasan, karena semuanya kembali kepada alasan “kemampuan daerah”.
Nasib “merana” ASN ini bertambah ketika di era Presiden Jokowi kenaikan gaji pegawai sebesar 5% hanya terjadi pada tahun 2014, kemudian menjelang berakhir masa jabatannya di tahun 2023 (8 tahun kekuasaan Jokowi) akhirnya dalam Pidato kenegaraanya, gaji ASN naik 8 persen. Sementara inflasi melaju setiap tahun dengan trend naik yang semakin seksi !
Di atas, soal kesejahteraan. Bagaimana dengan peningkatan kompetensi pegawai?
Sampai saat ini. Saya, misalnya. Secara formal, pendidikan pelatihan sebagai ASN barulah pada saat Prajabatan. Yang lainnya adalah pertemuan teknis program. Lalu bagaimana dengan Diklat Kepemimpinan yang seharusnya dilalui oleh setiap pegawai yang menduduki jabatan struktural ? Tidak ada kabar tentang ini. Kecuali oleh beberapa orang yang memiliki akses cepat. Itupun dengan jumlah yang sangat terbatas !
Belum lagi kalau kita berbicara, bagaimana cara meningkatkan kompetensi Pejabat Fungsional yang baru dialihkan. Yang belum tentu menduduki tempat yang linear dengan pendidikan dan kemampuannya secara personal, tentu ini menjadi kewajiban negara.
Sekarang kita berbicara lagi tentang sarana dan prasarana!
Beruntungnya saya dipercaya oleh Sekda Dompu untuk diangkat menjadi Tim Penilai Lomba Kebersihan dan Keindahan antara (organisasi perangkat Daerah) OPD, Camat, Desa, Kelurahan, dan Sekolah dalam rangka perayaan hari kemerdekaan RI ke 78 tahun 2023. Dari sana mata saya terbuka. Betapa banyak kita yang abai terhadap kenyamanan dan ketersediaan fasilitas kantor. Padahal, sebagai ASN. Kantor adalah rumah ke dua. Bayangkan, ASN harus masuk dan melakukan pelayanan pada pukul 7.30 sampai 16.30. 2 jam istirahat siang. itu berarti selama 7 jam ASN berada di kantor.
Ruangan yang suram berdebu. meja kursi yang tua dan berwarna buram, salinitas udara yang buruk, WC dan toilet tua berwarna kuning penuh lumut yang kalau mau dicari letaknya cukup pakai hidung. Belum lagi jumlah pegawai dan rasio WC yang tidak terpenuhi. Plafon yang menghitam, bahkan sebagian banyak yang roboh dan bolong. Komputer dan laptop yang lelet, Printer macet, Kertas kerja yang tidak tersedia, menjadi gambaran buram bagaimana tidak layaknya ruangan dan prasarana kerja yang seharusnya dapat menambah semangat ASN dalam menjalankan tugasnya yaitu memberi pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa ada juga kantor yang sudah memenuhi fasilitas dengan memperhatikan kenyamanan pegawai, misalnya di instansi-instansi yang memang rasio anggarannya lebih besar dibanding yang lainnya.
Logika saja. Kalau di rumahnyadaoat bekerja lebih nyaman, mengapa harus berlama-lama di kantor?
Itulah, mungkin. Mungkin yah. Mengapa kepercayaan terhadap kinerja ASN khususnya tenaga administratif menurun. Misalnya, Perpres baru-baru ini yang membolehkan mengangkat eselon 2 dari luar ASN, meski hanya berlaku di IKN (ibu kota negara) namun cukup menggelitik. Tidak adakah ASN di seluruh Indonesia ini yang memiliki kemampuan lebih untuk mengelola IKN? Mengapa tidak dilelang saja? Di saring, difilter, sehingga kita mendapatkan seorang ASN yang pantas untuk menduduki eselon II di IKN?
Atau kasus lokal. Ada banyak guru-guru yang progresif dan berprestasi lalu di alihkan menjadi pejabat struktural, padahal kenyataannya tenaga guru masihlah selalu kekurangan, mengapa? Karena mungkin yah, ASN yang memenduduki jabatan admistrasif tidak cukup dipercaya atau tidak mampu untuk menjalankan tugas-tugas struktural.
Kalau hal-hal di atas adalah masalah yang dapat menghambat peningkatan kinerja ASN. Lalu mengapa dibiarkan terus berlanjut?
Tidak . Tidak dibiarkan sebenarnya. Selalu ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun oleh daerah.
Misalnya, untuk jafung. Pemerintah pusat telah mengeluarkan permenpan No. 1 tahun 2023 yang memberikan arah dan ruang bagi jafung dalam melaksanakan tugas yang agile (kemampuan berpikir cerdas dan cepat) serta dinamis.
Sementara Pemerintah daerah, telah pula menaikan tunjangan kinerja (Tukin) meski dengan angka yang sangat minimalis. Yang kemudian, dipakai juga untuk mendongkrak BUMDES dan PERUSDA penghasil beras lokal. Disini, ASN juga menjalankan kewajiban moral untuk mendukung gerakan-gerakan ekonomi kerakyatan!
Ah, ibu ini mengeluh. Banyak loh di luar sana yang mau menjadi ASN !
Aduh, ketika diumumkan lulus sebagai PNS saya sangat bersyukur. Sampai detik ini dan seterusnyapun saya masih terus bersyukur atas nikmat ini. Dari 300 juta penduduk Indonesia, saya menjadi salah seorang yang beruntung. Tetapi bukan berarti ASN tidak boleh bersuara untuk mengkritisi dirinya sendiri kan? Karena sesungguhnya pengambil kebijakan dalam hal kesejahteraan pegawai tentu saja adalah pemerintah, dimana saya adalah salah seorang diantaranya. Saya bercermin, saya tahu apa yang saya butuhkan dan saya menyuarakannya.
Walaupun tidak boleh pula disalahkan bahwa ada banyak ASN yang memilih diam dan menjalankan tugas dengan apa adanya tanpa perlu melakukan otokritik. Buat saya, mereka adalah pasukan pejuang yang dengan doanya memohon perubahan hidup dan kesejahteraan. Inshallah, akan di ijabah. Ini adalah masalah pilihan!
Kembali tentang fasilitas dan kesejahteraan ASN. Keterbatasan anggaran negara, dan anggaran daerah menjadi alasan utama mengapa pemerintah sulit untuk menaikkan kesejahteraan dan menghadirkan fasilitas kerja yang layak bagi pegawai. Kewajiban dalam membayar hutang dan mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat menjadi hal prioritas pemerintah saat ini.
Tetapi sampai kapan alasan ini tetap reasonable? Bukankah reformasi birokrasi memerlukan aparatur yang fokus, kompeten dan berintegritas?
So…
Mau mana ASN ? 🤭
Dirgahayu ke 78 Indonesia ku Tercinta
Semoga menjadi negara yang Baldatun Toybatun Warabbun Gafur!!