* If you don’t know the trees you may be lost in the forest, but if you don’t know the stories you may be lost in life. (Siberian Elder)
Facebook adalah belantara perasaan. Apa yang kita pikirkan, yang kita inginkan, termasuk hal yang remeh sekalipun, bebas kita tulis dan bagi kepada siapa saja. Saya menemukan sebaris kesedihan di dinding salah seorang mutual friend, sepilihan kata yang berongga, membuat saya senyap beberapa saat di dalamnya.
“Suatu hari,” ia menulis, “saat semua menjadi masa lalu, saya akan mengenang kota ini sebagai tempat awal saya berangkat, menemukan inspirasi, merawat cinta dan cita-cita, bertemu kalian, berkawan perjuangan…”
Kota yang ia maksud adalah Makassar. Kota yang teramat ia cintai setelah tanah kelahirannya, Ambon. Di kota anging mammiri ini, ia menghabiskan sekian tahun kuliah, meraih gelar sarjana teknik, berorganisasi, dan tentu saja, jatuh cinta. Tapi ia harus kembali melanjutkan impiannya dengan berkarir di daerahnya itu. Kini, setelah tahun berlalu, sekali dua kali kadang ia muncul di Whatzzap, bertanya kabar tentang Makassar.
Ah, Makassar banjir lagi, jawabku. Dimana-mana air melimpah memenuhi jalan-jalan utama kota ini. Bila ini salah satu indikator Makassar bergerak atau digerakkan menuju wacana kota dunia, lantas apa kuasa saya sebagai warga, tetangga saya, dan anak-anak saya yang juga sekolahnya digenangi air hujan. Wacana Makassar sebagai kota Dunia hanya menjelma sebuah slogan yang mengajak kita tersenyum kecut. Belum sejam hujan, Makassar berubah menjadi lautan !
Gelontor hujan dan bandang air di depan rumah, membuat saya teringat tentang orang-orang yang juga jatuh cinta kepada kota ini. Ia bernama Daeng Sitaba. Meski ia sudah berkeliling dunia dengan kapal pesiar terbaik yang dulu masyhur seperti Stoom Ship Rotterdam dan Veendam, tak ada negeri yang lebih dicintainya selain Makassar. Hatinya terlalu kuat bertaut. Ia selalu ingin kembali meski romansa percintaannya dengan seorang gadis Amerika sempat menggodanya untuk tinggal di belahan dunia yang lain.
Lelaki yang piawai bertutur sastra kelong mangkasara’ ini, setelah terbiasa “menikmati” banjir tahunan di kota ini, mulai suka menghibur dirinya sendiri dengan kisah Makassar di masa lampau.
“Dulu di tahun 60-70an ada istilah Bara’ patampulo allo patampulo bangngi. Hujan empat puluh empat puluh malam,” kata Daeng Sitaba memulai kisahnya, “Kota ini terus diguyur berhari-hari tak putus-putusnya sehingga nampak bagai raksasa yang pucat, memutih dalam timbunan hujan.”
Daeng Sitaba bertutur, meski demikian, tak sekalipun ada banjir. Kalau ada genangan, itu pun tak sampai mata kaki. Lantas kenapa kita kian akrab dengan banjir? “Karena semua gunung sudah dipindahkan ke laut. Itu karena pembangunan asal-asalan, tanpa mempertimbangkan keindahan dan kesehatan kota,” ungkap Daeng Sitaba.
Menurutnya, banjir tentu saja menjadi “tontonan wajib” setiap warga dari tahun ke tahun karena volume air makin semakin tidak seimbang dengan drainase yang disiapkan pemerintah terlalu sedikit. Kasadaran dan partisipasi masyarakat yang kurang dalam membuang sampah, ditambah lagi dengan fasilitas pembuangan yang terlalu sedikit, menjadikan masalah ini bagai lingkaran setan. Air bagai tertampung di tengah kota karena drainase tidak lagi bersambung satu sama lain dan langsung ke laut sebagaimana yang dibangun di jaman kolonial Belanda dahulu. Pohon-pohon rindang menjulang ditebangi, bahkan tidak ada satu pun area yang berfungsi sebagai society healing selain beton-beton mall, perumahan, hotel yang tumbuh dimana-mana.
Daeng Sitaba tentu mafhum dengan pembangunan kota yang terus bertumbuh dengan segala konsekuensi ruang yang semakin sempit. Ia melihat bahwa orientasi pemerintah kota sepertinya memang sudah bergeser jauh. Dulu perhatian dan anggaran pemerintah terfokus untuk fasilitas dasar sebuah kota: saluran air yang memadai, pembuangan dan pengolahan limbah sampah, dan tata transportasi yang rapih. Sekarang pemerintah terlalu bergenit-genit untuk membincang grandier matter, hal besar, dan terkesan mewah. “Kota dunia”, “metaverse”, dan mengabaikan hal mendasar tadi. Nyatanya, listrik seringkali padam, air bersih semakin sulit didapat.
Daeng Sitaba hanya bisa berujar, “Seperti inilah jika kita kehilangan jejak sejarah, sejarah kota ini. Orientasi transaksional hanya mengakibatkan pembangunan kota yang membabi buta. Sungguh ironis!” []