DOMPU, PersIndoNews – Untuk menyuguhkan fakta ilmiah tentang dahsyatnya letusan gunung Tambora pada tahun 1815 silam, tim redaksi PersIndoNews dengan banyak keterbatasan menterjemahkan sebuah tulisan yang dikutip di AMUSINGPLANET, berjudul, “Mount Tambora And The Year Without a Summer” oleh KAUSHIK PATOWARY.
Letusan gunung berapi dapat mengubah iklim di planet ini. Dimana sejumlah besar abu vulkanik dilepaskan ke ruang angkasa membentuk penutup seperti kerudung yang mencegah sinar matahari agar panas tidak mencapai bumi. Selain itu, gas vulkanik seperti belerang dioksida memiliki efek pendinginan, berlawanan dengan gas rumah kaca seperti karbon dioksida.
Letusan Gunung Api Tambora pada tahun 1815 di pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat Indonesia, memuntahkan sekitar 120 juta ton belerang dioksida sampai 40 kilometer ke luar angkasa. Sulfur dioksida berubah menjadi aerosol asam sulfat yang halus, dan dalam beberapa minggu menyelimuti sebagian besar bumi. Lapisan aerosol memantulkan radiasi dari matahari kembali ke angkasa sehingga menghasilkan efek dingin di seluruh dunia. Tahun berikutnya setelah letusan Gunung Tambora, dilalui dengan cuaca yang terdingin dalam sejarah.
Letusan Gunung Tambora merupakan letusan gunung berapi paling dahsyat yang pernah disaksikan manusia. Letusan itu berawal pada 5 April 1815 dan terjadi letusan susulan selama empat bulan. Erupsi ini memuntahkan lebih dari 150 kilometer kubik batu dan magma yang menghasilkan kaldera sepanjang 7 kilometer. Gunung Tambora yang semula ketinggian puncaknya 4.300 meter runtuh menjadi hanya tersisa 2.850 meter.
Akibat dari erupsi Gunung Tambora menimbulkan bencana, batu apung dan abu menghujani wilayah tersebut selama berminggu-minggu. Abu yang dihempaskan Gunung Tambora sampai menutup langit Sumatera Selatan dan Kalimantan, sejauh 1.300 km. Seluruh pulau tertutup abu dan aliran piroklastik hingga sedalam satu meter menghancurkan rumah, tanaman, dan menumbangkan pohon. Abu dan batu apung yang jatuh ke laut membentuk rakit selebar lima kilometer. Rakit-rakit ini kemudian melayang ke laut lepas, di mana mereka ditemui oleh kapal-kapal Inggris yang jaraknya 3.600 km jauhnya.
Partikel abu halus terus bertahan di atmosfer selama beberapa tahun mengakibatkan warna matahari seperti terbenam atau seakan seperti senja berwarna cerah. Hal ini terlihat sampai ke London, Inggris.
Dampak buruk terjadi setelah letusan Gunung Tambora adalah kelaparan karena seluruh rusaknya tanaman dan pertanian. Muncul berbagai macam penyakit di kalangan masyarakat, terutama diare yang disebabkan air minum yang sudah tercemar. Kelaparan itu begitu parah sehingga orang-orang di Pulau Sumbawa terpaksa makan daun kering dan umbi-umbian beracun. Bahkan ada warga yang tega menjual anaknya hanya untuk mendapatkan beras. Sekitar 48.000 orang tewas di Pulau Sumbawa dan 44.000 di Lombok. Puluhan ribu orang mengungsi ke Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan untuk menghindari kelaparan.
Efek erupsi tidak hanya dirasakan di Indonesia. Cuaca dingin yang bukan pada musimnya mematikan pohon, padi, dan hewan. Kasus yang juga terjadi di utara Cina dan Tibet. Banjir menghancurkan banyak tanaman yang tersisa. Di beberapa kota di Taiwan, yang beriklim tropis, justru dilaporkan banyak terjadi hujan salju.
Di Eropa, yang masih memulihkan diri dari Perang Napoleon, suhu rendah dan hujan lebat mengakibatkan gagal panen di seluruh benua, yang menyebabkan kelaparan serius di Irlandia dan Wales. Ini diikuti oleh epidemi tifus besar di beberapa bagian Eropa, termasuk Irlandia, Italia, Swiss, dan Skotlandia, diperburuk lagi oleh kasus kekurangan gizi yang disebabkan oleh Tahun Tanpa Musim Panas.
Suhu anjlok di seluruh Amerika Utara, terutama di bagian timur laut Amerika Serikat dan Kanada. Sepanjang musim semi dan musim panas, ada kabut kering terus-menerus yang memerahkan dan meredupkan sinar matahari. Embun beku dan salju turun di dataran tinggi New Hampshire, Maine, Vermont, dan utara New York di tengah musim panas. Cuaca dingin merusak sebagian besar tanaman pertanian di Amerika Utara yang menyebabkan kenaikan harga. Di Kanada, Quebec kehabisan roti dan susu dan warga di salah satu Provinsi Nova Scotians di Canada, mereka merebus ramuan hijauan untuk makanan. (El & Tim/ad)