JAKARTA, PersIndoNews – Kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelontorkan sederet bantuan langsung tunai (BLT) jadi buah bibir. Pasalnya, sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi pernah mengkritisi dan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap program bantuan tunai kepada masyarakat yang kala itu dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Deputi Badan Pemenangan Pemilu PD Kamhar Lakumani, Jokowi pernah menolak pemberian BLT yang diinisiasi SBY. Dia menilai kritik dan penolakan itu sebagai langkah pencitraan Jokowi di masa lalu.
“Ini hanya menegaskan bahwa sejatinya beliau tak mengerti apa yang dikomentarinya. Apalagi saat itu (menjabat Gubernur DKI) sedang getol-getolnya pencitraan yang dilakukannya untuk menuju kursi presiden,” kata Kamhar kepada wartawan, Selasa (5/4/2022).
Pada masa lalu, Jokowi memang pernah tak sepaham dengan pemberian BLT yang diberikan Presiden SBY pada 2013. Dalam catatan detikcom, kala itu pemerintah SBY sedang merencanakan pemberian Balsem alias Bantuan Langsung Sementara Masyarakat. Bantuan diberikan sebagai kompensasi kenaikan BBM kala itu.
Secara pribadi, Jokowi yang kala itu menjadi Gubernur DKI Jakarta tak setuju dengan program Balsem sebagai kompensasi kenaikan BBM. Daripada bantuan langsung dia lebih setuju bila bantuan diberikan untuk usaha produktif rakyat.
“Saya dari dulu emang nggak senang bantuan tunai. Kalau bisa bantuan itu diberikan buat usaha-usaha produktif. Usaha-usaha kecil, usaha-usaha rumah tangga yang produktif, itu lebih baik,” kata Jokowi di Balaikota, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2013) silam.
“Dari dulu saya nggak setuju BLT, yang Balsem ini juga, semuanya,” terangnya.
Soal program bantuan langsung, Jokowi menilai kebijakan itu kurang tepat. Pasalnya, bantuan langsung hanya memberikan pendidikan tidak baik bagi masyarakat. Menurutnya masyarakat bisa jadi manja dengan bantuan pemerintah.
“Seharusnya, tidak diberikan dalam bentuk Balsem seperti ini, diberikan uang, memberikan cash sehingga memberikan pendidikan yang tidak baik untuk masyarakat,” tegas Jokowi.
Jokowi Telan Ludah Sendiri?
Menurut Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah memang wajar saja bila Jokowi saat ini memberikan BLT meskipun pernah mengkritiknya.
Bukan masalah menelan ludah sendiri, Trubus menilai pemberian BLT saat ini justru jadi kebutuhan. Namun, catatannya penyaluran BLT Jokowi seharusnya bisa lebih baik tata kelolanya dibandingkan yang dilakukan SBY.
“Iya wajar saja memang menggelontorkan BLT ini kan sekarang jadi kebutuhan, cuma seharusnya ada perbaikan tata kelolanya,” ungkap Trubus, Kamis (7/4/2022).
Dia mengatakan dinamika politik seperti ini memang wajar terjadi. Yang perlu digarisbawahi adalah seberapa penting pemberian BLT kepada masyarakat saat ini. Kalau melihat situasi dan kondisinya, Trubus mengatakan masyarakat memang butuh BLT.
“Ini memang ada perdebatan politik artinya kebijakan Pak SBY justru di-copy paste sama pak Jokowi. Itulah dinamika politik, persoalannya adalah di sisi lapangan banyak yang berubah, situasi kondisinya, cara penyalurannya,” papar Trubus.
Di sisi lain, Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat BLT hanya dapat diberikan saat ada tekanan ekonomi yang memberatkan masyarakat. Hal itu dilakukan bertujuan untuk mendorong daya beli.
Maka dari itu apabila kondisi daya beli masyarakat turun, misalnya didorong oleh pandemi COVID-19, BLT bisa jadi jalan keluar.
“Pemberian BLT harus ada konteksnya, konteksnya adalah ketika terjadi tekanan ekonomi yang berat. BLT ini fungsinya mendorong daya beli,” ungkap Bhima.
Berkaca pada pernyataan Jokowi pada 2013 soal bantuan produktif, Bhima justru menilai pemberian bantuan seperti itu justru tak akan memberikan penyelesaian bila kondisi ekonomi memang menekan daya beli masyarakat. Bila kondisi ekonomi sudah mulai normal dan pulih, bantuan produktif baru bisa tepat diberikan.
“Bila diberikan bantuan produktif saat daya beli turun justru nggak ada penyelesaian. Ketika mulai normal baru diberikan bantuan dan pembiayaan produktif UMKM. Ini untuk tujuan penciptaan kerja lebih luas,” papar Bhima.
Maka dari itu apabila kondisi daya beli masyarakat turun, misalnya didorong oleh pandemi COVID-19, BLT bisa jadi jalan keluar.
“Pemberian BLT harus ada konteksnya, konteksnya adalah ketika terjadi tekanan ekonomi yang berat. BLT ini fungsinya mendorong daya beli,” ungkap Bhima.
Berkaca pada pernyataan Jokowi pada 2013 soal bantuan produktif, Bhima justru menilai pemberian bantuan seperti itu justru tak akan memberikan penyelesaian bila kondisi ekonomi memang menekan daya beli masyarakat. Bila kondisi ekonomi sudah mulai normal dan pulih, bantuan produktif baru bisa tepat diberikan.
“Bila diberikan bantuan produktif saat daya beli turun justru nggak ada penyelesaian. Ketika mulai normal baru diberikan bantuan dan pembiayaan produktif UMKM. Ini untuk tujuan penciptaan kerja lebih luas,” papar Bhima.
BLT Bisa Bikin Masyarakat Manja
Meski tak menyalahkan sikap Jokowi menggelontorkan BLT, Trubus mengingatkan BLT rawan membuat masyarakat jadi ketergantungan dengan bantuan pemerintah.
Apalagi kalau setiap ada masalah ekonomi dan berpotensi menekan masyarakat, pemerintah mengambil jalan pintas memberikan BLT. Masyarakat pun jadi manja dan mengharapkan BLT untuk semua masalah.
“Iya memang ada hal yang tidak mendidik, masyarakat jadi manja. Ada persoalan edukasi. Takutnya masyarakat apa-apa jadi BLT, beras jadi BLT, minyak BLT, kedelai BLT. Kebanyakan BLT nggak bagus juga,” kata Trubus.
Sebagai langkah jangka pendek, menurut Trubus BLT memang bisa jadi solusi. Namun, dia menilai pemerintah tetap harus mencari cara lain untuk memperbaiki ekonomi masyarakat.
“Untuk jangka pendek boleh lah, tapi jangka menengah dan panjang ini nggak bisa, nggak tepat. Nggak selamanya BLT terus,” ungkap Trubus.
Dalam menghadapi inflasi misalnya, kenaikan harga di tengah masyarakat bisa saja ditanggulangi dengan intervensi pasar. Atau kalau perlu ada perbaikan tata kelola di pasar sehingga harga-harga bisa terjangkau.
“Harus ada formula baru, tata kelola pasar misalnya diubah. Harus ada skenario yang dilakukan agar harga-harga terjangkau dan ekonomi juga stabil,” ungkap Trubus.
Sepaham dengan Trubus, Bhima menilai BLT tak bisa berdiri sendiri. BLT juga cuma kebijakan yang bisa mengatasi masalah dalam jangka pendek.
Bhima menilai masalah perekonomian yang memicu pemberian BLT harus tetap diselesaikan pemerintah. Misalnya, ada kenaikan barang yang signifikan di tengah masyarakat maka hal itu harus diselesaikan juga.
Misalnya saja masalah kenaikan harga minyak goreng, pemerintah memberikan BLT minyak goreng. Namun, bukan berarti setelah pemberian BLT masalah selesai, pemerintah menurut Bhima harus menyelesaikan masalah pada tata niaga minyak goreng sampai ke akarnya.
“Kalau mau efektif BLT nggak bisa berdiri sendirian, akar masalah kenaikan harga juga harus diselesaikan pemerintah,” jelas Bhima. (detik.com)